INFORMAL SETTLEMENT


A.Bermukim
Manusia pada dasarnya selalu berada dalam siklus kehidupan berkelompok, yang bermula dari lingkup keluarga ( homogen ) kemudian melebar dalam komunitas masyarakat ( heterogen ). Proses pengelompokkan tersebut dilatarbelakangi oleh berbagai faktor yang tangible dan untangible.. Diantaranya karena jenis pekerjaan, suku, agama, hubungan darah ( kindship ), politik , pendidikan dan lain sebagainya. Pengelompokan ruang hidup tersebut secara realitas terlihat dalam berbagai fenomena. Misalnya : tempat duduk yang saling berdekatan, tempat kerja yang saling berdekatan, rumah yang saling berdekatan. Faktor kedekatan tersebut menjadi dasar hubungan kerjasama dan komunikasi antar individu. Salah satu fenomena kelompok dalam masyarakat yang berkaitan dengan bidang arsitektur adalah kemunculan kelompok hunian dalam setiap wilayah perkotaan maupun pedesaan. Permukiman tersebut dipahami sebagai sekelompok hunian ( housing ) yang menempati lokasi tertentu di wilayah perkotaan dan pedesaan serta berperan sebagai base camp yang membentuk interaksi internal dan eksternal komunitas penduduk . Hal ini seperti yang dijelaskan oleh David W Minar dan Scott Greer ( 1969 ), bahwa :
Munculnya suatu komunitas, bisa berawal dari sisi sosial budaya, tingkat ekonomi, profesi dan sebagainya

Kelompok hunian tersebut dilengkapi pula dengan jaringan infrastruktur berupa jaringan PAM, listrik, telepon.
Berkaitan dengan tata ruang kota, kelompok-kelompok hunian di wilayah perkotaan lambat laun menimbulkan masalah yang cukup signifikan. Dipicu oleh desakan faktor kebutuhan rumah dan pola hidup manusia, kemunculan fenomena settlement, dilatarbelakangi pula oleh faktor ekonomi dan kestatusan yang mempengaruhi keruangan kota. Untuk menjelaskan lebih lanjut, maka Hadi Sabari Yunus ( 1994 ) , mengatakan tentang 2 kekuatan yang mempengaruhi struktur keruangan kota. Hal ini dijelaskan melalui tabel berikut:

Sumber : Hadi Sabari Yunus : Teori dan Model Struktur Keruangan Kota, 1994

Dari sumber lain, proses terbentuknya pemukiman di kota, digambarkan dengan pembagian zonifikasi tata ruang kota oleh Charles Colby ( 1994 ), dalam diagram berikut :

Gambar 1.Potensi kota
Sumber : Charles Colby, 1994

Latar belakang ini, dalam kurun waktu tertentu perkembangan kota ternyata menimbulkan permasalahan. Maka dengan menjalin kerjasama dengan berbagai pihak, maka pemerintah berusaha untuk melakukan intervensi, dalam proses Problem Seeking maupun Problem Solving. Seperti contoh kasus yang dikemukakan oleh Nabeel Hamdi ( 1991 ) tentang penyediaan perumahan tersebut telah ditanggapi oleh Unit Housing of Household, bahwa :
Di sini ada nilai tambah untuk unit-unit perumahan tersebut, tetapi terjadi kesalahan dalam mencocokkan antara kebutuhan dan nilai jual serta persediaan rumah yang ada

Berkaitan dengan pengadaan permukiman, menurut Nabeel Hamdi ( 1991 ) beberapa hal yang sering mengakibatkan perdebatan antara needs dan stock.,yaitu ::
 Terjadi kekurangan lahan pada tahap pengembangan baru
 Ada sedikit lahan di tengah kota, namun dipakai oleh kaum gelandangan
 Ada cukup lahan yang tersedia, namun tidak adanya insentif yang cukup untuk
subsidi pembangunannya.

Selain lahan, diperlukan material dalam pembangunan pemukiman. Hal ini dimaksudkan untuk menekan harga jual rumah, agar terjangkau oleh masyarakat. Berkaitan dengan gejala tersebut, sering kali terjadi tarik ulur dalam berbagai kepentingan. Nabeel Hamdi ( 1991 ) menjelaskan pula bahwa :
Disini kewajaran sering dikorbankan untuk efisiensi, dimana produk eksport tampaknya lebih penting untuk perkembangan nasional daripada produk lokal, dalam pengadaan material bangunan

Ketegangan ini, perlu dijembatani dengan kesepakatan, agar terjadi keseimbangan yang menjangkau semua pihak. Oleh karena itu, langkah tersebut didasarkan pada pemikiran Nabeel Hamdi ( 1991 ) , sebagai berikut :
 Tingkat daya beli
 Pengontrolan dalam sistem sewa
 Adanya kerjasama dalam berbagai profesi
 Bertolak pada tingkat ekonomi
 Adanya partisipasi dalam pengadaan rumah

B.Fenomena Bermukim
Informal settlement diartikan sebagai unit-unit perumahan yang diadakan secara mandiri oleh masyarakat level bawah. Masalah kebutuhan ini selalu berkaitan dengan poverty society. Keterbatasan budget akan menyebabkan ruang gerak yang sempit. Seperti yang termuat dalam kutipan berikut dari Clausie AW (1984 ) dalam Housing without Houses , bahwa:
Kecepatan pertumbuhan suatu populasi penduduk adalah perubahan ekonomi perkotaan dan masalah sosial yang menjadi resiko yang tidak dapat diatur

Seperti kasus di Mexico, kaum homeless tinggal di squatter dan pemukiman informal lainnya, rumah kardus di taman kota atau emper toko Houston ( Texas ). Faktor kemiskinan bukan hanya terjadi pada Negara-negara berkembang berkembang tapi juga muncul di Amerika. Mengenai masalah infrastruktur, Nabeel Hamdi ( 1991 ) juga mengatakan bahwa :
Dalam menyikapi kondisi perekonomian masyarakat bawah, ternyata pemerintah di negara berkembang, lebih miskin dari pada penduduknya, karena mereka tetap memungut pajak pada masyarakatnya yang miskin.

Proses pengadaan dan perpajakan infrastruktur sering menyulitkan dibandingkan dengan proses pengadaan rumah. Sementara dari pihak pemerintah juga dihadapkan pada dilemma antara financial pengadaan fasilitas dengan faktor masyarakat ekonomi lemah.
Bila bertitik tolak dari studi tentang pembangunan mandiri yang dilakukan menurut image masyarakat golongan bawah, maka produk yang dihasilkan bisa dikategorikan sebagai produk arsitektur vernacular. Seperti yang dikatakan oleh John Brinckerhoff Jackson terlihat pada The American Vernacular Home ( USA ) yang mengatakan bahwa :
Rumah ini didesain sebagai lingkungan kecil, yang tidak hanya tergantung pada entitas politik suatu komunitas, tapi terlebih pada daerah servicenya. Dan disini diperoleh pengembangan bentuk settlement lainnya ( non political ) : the suburb, the company town, the trailer court, the resort area and the condominium. Tempat tinggal vernacular didisain oleh tukang dan bukannya oleh seorang arsitek. Dimana proses pembangunannya memakai teknik local, material local dalam lingkungan yang dipahaminya. Misalnya : pengaruh iklim, tradisi, ekonomi, pertanian.

Selain dipakai sebagai tempat tinggal, permukiman jenis ini juga dipakai sebagai tempat bekerja. Dengan adanya penumpukkan aktivitas tersebut, tentu saja akan membutuhkan ruang yang lebih banyak. Oleh karena itu sering terjadi pengembangan rumah, yang menerobos batas-batas yang sudah ditentukan kota. Hal ini akan terlihat dalam contoh kasus berikut, yang disampaikan oleh Colin Ward, Delhi dalam buku Nabeel Hamdi
( 1991 ) . Hal ini digambarkan dalam bentuk diagram di bawah :

Gambar 6. Proses perkembangan rumah dalam lingkungan
Sumber : Colin Ward, 2003

Selain mengetahui mengenai proses terbentuknya Informal Settlement bagi level bawah, maka akan lebih difokuskan dalam pembagian menurut jenis, sebagai berikut :

B.1.Slum
Slum merupakan kelompok rumah yang terbangun dari bahan yang sederhana. Bisa dari papan kayu, setengah bata , dan lain sebagainya. Kondisinya kumuh dan kurang mempedulikan factor kesehatan lingkungan. Adapun yang menjadi inti masalah di sini adalah masalah legalitasnya. Hal ini berkaitan dengan adanya status sertifikat dan pemanfaatan tanah negara. ( contoh : Bantaran Kali Pepe). Keberadaannya sedikit banyak mengganggu kestabilan kota. Seperti yang dikutip dari pernyataan Nabeel Hamdi ( 1991 ) , bahwa :
Slum adalah suatu bentuk atau produk dari penyimpangan politik dan kestabilan kota. Jadi pengutamaan pada kepentingan pemerintah menjadi latar belakang pengadaannya

B.2.Squatter
Squatter adalah kompleks rumah dengan kondisi minimal. Rumah terbuat dari kardus, gedheg, papan kayu . Kondisi rumah kumuh dan rentan terhadap berbagai masalah kesehatan. Seperti penjelasan Word dalam Housing Without Houses bahwa :
• Sangat sering terjadi, orang-orang kesulitan untuk membeli sebidang tanah, akhirnya mereka hanya mampu mendirikan tenda di sana dan terjadillah squatter. Ini mungkin menjadi dasar untuk membentuk berbagai struktur squatter, dimana semuanya lebih sulit untuk ditemukan.
• Squatter memuat potret kehidupan yang mencerminkan tingkat kemiskinan yang parah, munculnya berbagai sumber penyakit dan produk korban-korban politik pemerintah. Agaknya kondisi ini sudah merupakan jaringan yang sporadic. Berdasarkan fenomena tersebut, maka ada suatu titik balik yang menyoroti struktur perekonomian masyarakat yang berkaiatn dengan penyediaan rumah.
• Squatter adalah produk kaum marginal yang merupakan bagian dari paradigma baru untuk perkembangan kawasan.

C.Pembahasan
Keberadaan Informal Settlement, dapat dipahami sebagai Problem maupun Solusi, tergantung pada situasi dan kondisi dalam setiap kasus.
Informal settlement dapat menjadi troublemaker dalam suatu komunitas kota, bila :
 Menghambat program pengaturan dan keindahan kota
 Menuntut legalitas sertifikat melalui kekuatan politik tertentu
 Pertumbuhan dan perkembangan permukiman yang tidak terkendali
 Stimulator bangunan liar
 Menimbulkan kerentanan keamanan dan nilai moral
Disamping itu, Informal settlement dapat pula dipandang sebagai solusi bila :
 Mengurangi shanties group di sudut-sudut kota
 Material pengadaan rumah bernilai sederhana dan mencerminkan keindahan kota
 Penghuni dapat dibina guna memberi pengertian tentang kebersihan dan keteraturan kota
 Mempengaruhi wajah kota
 Mendeskripsikan sejarah kota
Penyelesaian ini bukan merupakan konsep ideal bagi pemerintah. Namun lebih jauh, dimanfaatkan untuk mengendalikan dan mengatur ruang kota. Sehingga kebijakan pemerintah akan menjadi tolok ukur keberhasilan dalam menata ruang kota
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa informal settlement lebih cenderung menjadi Problem daripada menjadi Solusi. Karena menurut data dan pengamatan, masalahan rentang waktu telah mengubah konsep permukiman masyarakat setempat.
Saran
Adapun yang menjadi saran dalam permasalahan informal settlement adalah :
 Membatasi dan memantau perkembangan slum dan squatter
 Mengalihfungsikan daerah-daerah rawan ( bantaran sungai, pinggiran rel kereta api, terminal ). Misalnya : daerah wisata, open space, dsb
 Pemantauan jaringan infrastruktur lingkungan slum dan squatter

Daftar Pustaka
Hamdi, Nabeel, 1991.Housing Withouth Houses, Van Nostrand Reinhold, New York
Jackson, John Brinckerhoff, 1984.Discovering The Vernacular Landscape, Yale University
Minar, David W, Greer, Scott, 1969. The Concept of Community, Aldine Publishing Company, Chicago, USA
Sanoff, Henry, 1990. Participatory Design, Bookmaster Press, USA
Yunus, Hadi Sabari, 1994. Teori dan Model Struktur Keruangan Kota, DEPDIKBUD UGM, Fakultas Geografi